Rabu, 05 Februari 2014

Tatacara Bertawasul Agar Terhindar Dari Syirik Atau Bid'ah


Seorang yang berakal sehat tidak mungkin menerima, bahwa orang yang sudah meninggal dan tidak dapat bergerak serta kehilangan fungsi anggota tubuhnya dapat mendatangkan manfaat bagi dirinya, apalagi bagi orang lain. Hal ini ditegaskan oleh Dr. Abdul Karim Al ‘Aqel dalam Buku Benteng Tauhid oleh Sekumpulan Ulama, terbitan Dar Alqassem Saudi Arabia.

Ritual yang dianggap bagian dari beragama, padahal termasuk syirik ataupun bid’ah, masih saja dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Kegiatan dalam bentuk ziarah ke kubur orang-orang yang dianggap shaleh diiringi menyampaikan keinginan serta untuk menolak mala petaka, sepertinya tetap ada dan terpelihara ditengah-tengah sebagian masyarakat muslim. Bagi yang masih melakukannya, cermati sungguh-sungguh penjelasan Dr. Abdul Karim Al ‘Aqel tersebut.

Dr. Abdul Karim Al ‘Aqel menulis panjang lebar tentang bertawassul dengan para Nabi dan orang-orang shaleh. Dilengkapi pula dengan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk pengajaran bagi kita, saya kutipkan sebagian dari tulisan tersebut. 

Sebagai dampak langsung dari jauhnya kebanyakan kaum muslimin dari Tuhan serta jahilnya mereka akan agama, tersebarlah berbagai macam bentuk kemusyrikan, bid’ah, khurafat dikalangan umat ini. Diantara bentuk-bentuk kemusyrikan yang tersebar luas, ialah sikap (berlebihan) sebagian kaum muslimin dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap wali dan shaleh, sehingga mereka menyeru (berdo’a kepada) mereka disamping (menyeru) Allah. Mereka berkeyakinan, bahwa sesungguhnya wali-wali dan orang-orang shaleh itu dapat memberi manfaat dan menimbulkan mudharat, sehingga mereka mengagungkan dan melakukan thawaf (berkeliling) di kuburan-kuburan mereka, dengan anggapan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah merupakan tawassul (mengambil perantara) kepada Allah untuk menunaikan bermacam hajat, atau untuk menolak berbagai mala petaka.

Seandainya orang-orang awam ini mau kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah dan memahami kandungan keduanya tentang masalah do’a dan tawassul, niscaya mereka tahu, mana sebenarnya tawassul yang dibenarkan dalam syari’at Islam.

Sesungguhnya tawassul yang benar dan disyari’atkan ialah dengan jalan patuh kepada Allah dan rasul-Nya, dengan melakukan segala perintah, menjauhi semua larangan, mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dengan amal-amal shaleh dan meminta kepada Allah dengan (menyebut) Al Asma Alhusna (nama-nama Allah yang baik) dan sifat-sifat-Nya yang agung.

Inilah cara (yang benar dalam) mendekatkan diri kepada Allah dan jalan menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Sedangkan tawassul (mencari jalan mendekatkan diri) dengan cara datang (mengadu) ke kuburan-kuburan, berthawaf disekelilingnya, bernadzar kepada penghuninya dan meratap dipintu-pintunya dengan tujuan agar kebutuhan terpenuhi dan terlepas dari kesempitan hidup dan mara bahaya, bukanlah tawassul yang dibenarkan oleh syariat, bahkan hal itu merupakan kemusyrikan dan kekafiran.

Adapun riwayat yang mengatakan Umar bin Khattab pernah bertawassul kepada Abbas radhiyallahu ‘anhu yang dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk membenarkan tawassul kepada seseorang, sebenarnya Umar hanya bertawassul dengan perantara do’a Abbas, bukan pribadinya. Sebab tawassul dengan perantaraan do’a seseorang tidak sama dengan tawassul dengan pribadinya, dengan syarat orang tersebut masih hidup. Karena bertawassul dengan do’a seseorang adalah dibolehkan syari’at, dengan syarat orang yang do’a nya dijadikan perantara itu adalah orang yang shaleh.

Kemudian, kalau orang yang sudah meninggal dunia yang didatangi seseorang untuk meminta kepada Allah dengan (perantaraan)  berkahnya dan yang diminta bantuannya, setelah mati, sama sekali tidak mampu melakukan sesuatu atau memberi manfaat kepada dirinya, bagaimana dia mampu memberi manfa’at kepada orang lain.?

Seorang yang berakal sehat tidak mungkin menerima, bahwa orang yang sudah meninggal dan tidak dapat bergerak serta kehilangan fungsi anggota tubuhnya dapat mendatangkan manfaat bagi dirinya, apalagi bagi orang lain. (Dr. Abdul Karim Al ‘Aqel dalam Buku Benteng Tauhid oleh Sekumpulan Ulama)
Pekanbaru, Januari 2014

Tidak ada komentar: