Setiap kali memasuki bulan Ramadhan,
saya teringat masa kecil dulu. Kota ini belum seperti sekarang ini. Informasi
masuknya waktu berbuka hanya melalui siaran radio (RRI) dan bunyi beduk. Bagi anak-anak
seusia saya, bunyi beduk merupakan tanda berbuka yang sangat ditunggu-tunggu.
Didekat tempat kediaman kami, ada
sebuah surau. Bangunan bertiang (panggung), yang terbuat dari papan. Pengurus
surau itu biasa kami panggil Mbah Mudin. Ketika berpuasa, bagi kami Mbah Mudin
sosok yang menarik perhatian. Salah satu tugasnya adalah memukul beduk tanda masuknya
waktu berbuka.
Ketika matahari mulai condong ke
barat, kami bermain dihalaman. Sambil bermain, mata kami selalu mengawasi rumah
Mbah Mudin. Rumahnya terletak antara tempat kami bermain dan surau. Sehingga
kami dapat melihat rumahnya dan surau.
Saat-saat menyenangkan bagi kami
adalah ketika melihat Mbah Mudin keluar rumahnya menuju surau. Biasanya kami
secara serentak berhenti bermain. Semua mata memperhatikan langkah-langkah Mbah
Mudin menuju surau. Setelah sampai ke surau, kami segera masuk rumah. Memberi tahu
orang tua bahwa Mbah Mudin sudah sampai ke surau. Kami bersiap-siap untuk
berbuka. Menit-menit antara sampainya Mbah Mudin ke surau dengan bunyi beduk adalah
menit-menit yang memiliki arti tersendiri. Kami konsentrasi menunggu. Tidak
berbicara. Waktu menunggu itu tidak selalu sama. Kadang cepat kadang agak lama.
Ketika akhirnya beduk itu berbunyi, aktivitas berbuka pun dimulai. Tentu saja
semua merasa lega dan gembira. Itulah saat yang ditunggu-tunggu. Terima kasih
MBah Mudin.
Sebenarnya, tugas Mbah Mudin memukul
beduk itu tidak hanya di waktu berbuka di bulan puasa. Hal itu dilakukannya
setiap hari. Namun, di bulan puasa Mbah Mudin menjadi istimewa.
Pekanbaru, Juni 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar