Rabu, 08 April 2015

Pengertian Miskin, Amilin, Mualaf, Hamba Sahaya, Gharimin, Sabilillah, Ibnu Sabil



Sesungguhnya, zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurusnya, para mualaf yang dibujuk hatinya, bagi hamba sahaya, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan ibnu sabil sebagai suatu kewajiban dari Allah. Dan Allah maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. At-Taubah: 60)
Yang dimaksud golongan miskin, maka diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Orang miskin bukanlah orang yang suka berkeliling kepada manusia dan dapat disuruh pulang setelah diberi satu atau dua suap, sebiji atau dua biji kurma”.
Para sahabat bertanya:” Wahai Rasulullah, lalu siapakah miskin itu? Beliau bersabda:
Orang yang tidak memiliki biaya yang mencukupi kebutuhan dasarnya, tidak memiliki kecakapan dan tidak suka meminta-minta apapun kepada manusia. Maka, dia dapat diberi zakat”.

Yang dimaksud amilin ialah orang yang mengumpulkan dan mengupayakan zakat. Mereka berhak memperoleh bagian zakat atas upayanya itu. Amilin tidak boleh dari kalangan kerabat rasul karena zakat diharamkan atas mereka. Hal ini berdasarkan keterangan dalam shahih Muslim dari Abdul Muthalib, dari Rabiah bin al-Harits bahwasanya dia dan al-fadhal bin Abbas memohon kepada Rasulullah agar dipekerjakan sebagai pengurus zakat. Maka, beliau bersabda:
Sesungguhnya zakat itu tidak dihalalkan bagi Muhammad dan keluarganya. Zakat itu merupakan daki manusia.
Orang-orang yang dibujuk hatinya (mualaf) terbagi kedalam beberapa kategori. Diantara mereka ada yang diberi supaya masuk Islam sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi kepada Sofwan bin Umayah seperti diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Safwan bin Umayah, dia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberiku suatu pemberian dalam peristiwa Hunain. Sesungguhnya beliau adalah manusia yang paling aku benci. Beliau senantiasa memberiku suatu pemberian hingga beliau menjadi manusia yang paling aku cinta.
Hadits inipun diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi.
Golongan Mualaf lainnya ialah orang yang diberi zakat supaya Islamnya bagus dan hatinya kokoh sebagaimana Nabi memberikan seratus unta dalam peristiwa Hunain kepada sekelompok orang yang menjadi teman dan pemuka kaum ‘yang membebaskan diri’. Beliau bersabda:
Sesungguhnya, aku memberi seseorang . Dan orang selain dia lebih aku cintai daripada orang itu karena aku khawatir Allah akan membenamkan wajahnya ke neraka jahanam.
Dalam Shahihain diriwayatkan dari Abi Said :
Sesungguhnya, Ali mempersembahkan batangan emas yang masih berselimutkan tanah yang diperoleh dari Yaman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian, beliau membagikannya kepada empat orang: al-Aqra’ bin Habis, Uyainah bin Badar, Alqamah bin Alatsah dan Zaid al-Khair. Beliau berkomentar,’ Bukankah aku boleh membujuk hati mereka?
Apakah orang yang dibujuk hatinya terhadap Islam boleh diberi zakat sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam? Mengenai hal ini terjadi nikhtilaf. Diriwayatkan dari Umar, Amir, Sya’bi dan sekelompok ulama bahwasanya kaum mualaf itu tidak boleh diberi zakat sepeninggal nabi karena Allah telah memuliakan Islam dan pemeluknya, menghunikan mereka di berbagai negeri, dan menundukkan para hamba kepada mereka. (Pendapat ini lebih kuat, wallahu a’lam, daripada pendapat yang membolehkan memberi zakat kepada mualaf ketika Islam dan pemeluknya telah dimuliakan. Jika faktor-faktor yang mengharuskan pembujukan hati terulang, maka zakat dapat diberikan kepada mualaf).
Sehubungan dengan hamba sahaya, maka diriwayatkan dari sebagian tabi’in bahwa yang dimaksud ialah hamba sahaya mukatab. Ibnu Abbasnya dan ulama lainnya berkata:” Boleh saja hamba sahaya yang baru dibebaskan itu diberi zakat. Pemberian zakat karena setelah dibebaskan adalah lebih umum daripada pemberian kepada mukatab atau kepada budak yang baru dibeli untuk dibebaskan. Terdapat banyak hadits mengenai pahala memerdekakan budak dan pemberantasan perbudakan. Hal itu tiada lain karena pembalasan itu adalah dari perbuatan sejenis. Allah berfirman:
Dan tidaklah kamu dibalas, melainkan menurut apa yang dahulu kamu lakukan.
Dalam al-Musnad diriwayatkan dari al-Barra bin Azib, dia berkata:
Seseorang datang lalu berkata:” Wahai Rasulullah, tunjukkanlah aku kepada suatu perbuatan yang dapat mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka”. Maka, beliau bersabda:” Bebaskanlah raga dan lepaskanlah sahaya”. Kemudian, orang itu bertanya:” Wahai Rasulullah, bukankah kalimat itu menunjukkan satu perbuatan? Beliau menjawab:” Tidak. Membebaskan raga berarti kamu memerdekakannya. Melepaskan sahaya berarti kamu sendiri menentukan harga pembeliannya”.
Yang dimaksud gharimin terbagi kedalam beberapa kelompok. Diantara mereka ada orang yang memikul beban berat, atau menanggung utang yang wajib dibayarnya sehingga melunaskan hartanya, atau dia bangkrut untuk membayar utangnya, atau dia menghabiskan hartanya dalam kemaksiatan, kemudian dia bertobat, maka orang-orang yang demikian dapat menerima zakat.
Yang menjadi pangkal persoalan ini ialah hadits Qubaishah binNukhariq’ al-Hilali, dia berkata:
Aku memikul beban berat. Kemudian, aku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta sesuatu kepadanya. Beliau bersabda:” Diamlah sampai kami membawa zakat, lalu kami akan memberimu daripadanya”. Kemudian, beliau bersabda:” Hai Qubaishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh, kecuali bagi salah satu dari ketiga orang ini; orang yang memikul beban berat, maka halal baginya meminta hingga dia memperoleh kebutuhannya, lalu dia menghentikan perbuatannya; orang yang terkena musibah besar yang memusnahkan kekayaannya, maka halal baginya meminta sehingga dia memperoleh penopang penghidupan; dan orang yang terkena kemiskinan hebat hingga ada tiga orang yang berkelayakan dari kerabat kaumnya yang bangkit, lalu mereka berkata,’Sesungguhnya, si fulan telah tertimpa kemiskinan hebat’, maka halal baginya meminta-minta hingga dia memperoleh penopang penghidupan. Jika ada orang yang meminta-minta selain kedua (Ketiga?) orang itu, maka dia memakan kemurkaan”.(HR. Muslim)
Yang dimaksud sabilillah, diantaranya ialah orang-orang yang berperang sedang mereka tidak memiliki bagian dari pembagian untuk dewan pimpinan. Menurut Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq bahwa orang yang berhaji juga termasuk sabilillah karena ada hadits yang menerangkan hal itu. (Penyusun buku berkata: Namun, tidak disebutkan hadits yang menunjukkan bahwa haji termasuk kedalam sabilillah).
Adapun ibnu sabil ialah orang yang bepergian melintasi berbagai negeri. Dia tidak memiliki bekal dalam perjalanannya. Dia berhak menerima zakat sekadar untuk memenuhi kebutuhannya hingga sampai di negerinya, walaupun dia memiliki harta. Hukum ini berlaku pula terhadap orang yang merencanakan perjalanan dari negerinya sedang dia tidak memiliki bekal, maka dia dapat diberi dari harta zakat untuk memenuhi biaya pergi dan pulangnya.
Dalil atas ketentuan tersebut adalah ayat diatas dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abi Said r.a dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Zakat tidak dihalalkan bagi orang kaya, kecuali bagi lima golongan; orang yang mengurus zakat, orang yang membelinya dari hartanya, orang yang berutang, orang yang berperang dijalan Allah, atau orang miskin yang menerima zakat kemudian sebagiannya diberikan kepada orang kaya.
(Sumber: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)

Tidak ada komentar: