Sesungguhnya, zakat itu adalah bagi orang-orang fakir,
orang-orang miskin, para pengurusnya, para mualaf yang dibujuk hatinya, bagi
hamba sahaya, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan ibnu sabil
sebagai suatu kewajiban dari Allah. Dan Allah maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana. (QS. At-Taubah: 60)
Yang dimaksud golongan miskin, maka diriwayatkan dari Abi
Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Orang miskin bukanlah orang yang suka berkeliling kepada
manusia dan dapat disuruh pulang setelah diberi satu atau dua suap, sebiji atau
dua biji kurma”.
Para sahabat bertanya:” Wahai Rasulullah, lalu siapakah
miskin itu? Beliau bersabda:
Orang yang tidak memiliki biaya yang mencukupi kebutuhan
dasarnya, tidak memiliki kecakapan dan tidak suka meminta-minta apapun kepada
manusia. Maka, dia dapat diberi zakat”.
Yang dimaksud amilin ialah orang yang mengumpulkan dan
mengupayakan zakat. Mereka berhak memperoleh bagian zakat atas upayanya itu.
Amilin tidak boleh dari kalangan kerabat rasul karena zakat diharamkan atas
mereka. Hal ini berdasarkan keterangan dalam shahih Muslim dari Abdul Muthalib,
dari Rabiah bin al-Harits bahwasanya dia dan al-fadhal bin Abbas memohon kepada
Rasulullah agar dipekerjakan sebagai pengurus zakat. Maka, beliau bersabda:
Sesungguhnya zakat itu tidak dihalalkan bagi Muhammad dan
keluarganya. Zakat itu merupakan daki manusia.
Orang-orang yang dibujuk hatinya (mualaf) terbagi kedalam
beberapa kategori. Diantara mereka ada yang diberi supaya masuk Islam
sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam memberi kepada Sofwan
bin Umayah seperti diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Safwan bin Umayah, dia
berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberiku suatu
pemberian dalam peristiwa Hunain. Sesungguhnya beliau adalah manusia yang
paling aku benci. Beliau senantiasa memberiku suatu pemberian hingga beliau
menjadi manusia yang paling aku cinta.
Hadits inipun diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi.
Golongan Mualaf lainnya ialah orang yang diberi zakat supaya
Islamnya bagus dan hatinya kokoh sebagaimana Nabi memberikan seratus unta dalam
peristiwa Hunain kepada sekelompok orang yang menjadi teman dan pemuka kaum ‘yang
membebaskan diri’. Beliau bersabda:
Sesungguhnya, aku memberi seseorang . Dan orang selain dia
lebih aku cintai daripada orang itu karena aku khawatir Allah akan membenamkan
wajahnya ke neraka jahanam.
Dalam Shahihain diriwayatkan dari Abi Said :
Sesungguhnya, Ali mempersembahkan batangan emas yang masih
berselimutkan tanah yang diperoleh dari Yaman kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam. Kemudian, beliau membagikannya kepada empat orang: al-Aqra’
bin Habis, Uyainah bin Badar, Alqamah bin Alatsah dan Zaid al-Khair. Beliau
berkomentar,’ Bukankah aku boleh membujuk hati mereka?
Apakah orang yang dibujuk hatinya terhadap Islam boleh diberi
zakat sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam? Mengenai hal ini
terjadi nikhtilaf. Diriwayatkan dari Umar, Amir, Sya’bi dan sekelompok ulama
bahwasanya kaum mualaf itu tidak boleh diberi zakat sepeninggal nabi karena
Allah telah memuliakan Islam dan pemeluknya, menghunikan mereka di berbagai
negeri, dan menundukkan para hamba kepada mereka. (Pendapat ini lebih kuat,
wallahu a’lam, daripada pendapat yang membolehkan memberi zakat kepada mualaf
ketika Islam dan pemeluknya telah dimuliakan. Jika faktor-faktor yang
mengharuskan pembujukan hati terulang, maka zakat dapat diberikan kepada
mualaf).
Sehubungan dengan hamba sahaya, maka diriwayatkan dari
sebagian tabi’in bahwa yang dimaksud ialah hamba sahaya mukatab. Ibnu Abbasnya
dan ulama lainnya berkata:” Boleh saja hamba sahaya yang baru dibebaskan itu
diberi zakat. Pemberian zakat karena setelah dibebaskan adalah lebih umum
daripada pemberian kepada mukatab atau kepada budak yang baru dibeli untuk
dibebaskan. Terdapat banyak hadits mengenai pahala memerdekakan budak dan
pemberantasan perbudakan. Hal itu tiada lain karena pembalasan itu adalah dari
perbuatan sejenis. Allah berfirman:
Dan tidaklah kamu dibalas, melainkan menurut apa yang dahulu
kamu lakukan.
Dalam al-Musnad diriwayatkan dari al-Barra bin Azib, dia
berkata:
Seseorang datang lalu berkata:” Wahai Rasulullah,
tunjukkanlah aku kepada suatu perbuatan yang dapat mendekatkanku ke surga dan
menjauhkanku dari neraka”. Maka, beliau bersabda:” Bebaskanlah raga dan
lepaskanlah sahaya”. Kemudian, orang itu bertanya:” Wahai Rasulullah, bukankah
kalimat itu menunjukkan satu perbuatan? Beliau menjawab:” Tidak. Membebaskan
raga berarti kamu memerdekakannya. Melepaskan sahaya berarti kamu sendiri
menentukan harga pembeliannya”.
Yang dimaksud gharimin terbagi kedalam beberapa kelompok.
Diantara mereka ada orang yang memikul beban berat, atau menanggung utang yang
wajib dibayarnya sehingga melunaskan hartanya, atau dia bangkrut untuk membayar
utangnya, atau dia menghabiskan hartanya dalam kemaksiatan, kemudian dia
bertobat, maka orang-orang yang demikian dapat menerima zakat.
Yang menjadi pangkal persoalan ini ialah hadits Qubaishah
binNukhariq’ al-Hilali, dia berkata:
Aku memikul beban berat. Kemudian, aku menemui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta sesuatu kepadanya. Beliau bersabda:”
Diamlah sampai kami membawa zakat, lalu kami akan memberimu daripadanya”.
Kemudian, beliau bersabda:” Hai Qubaishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak
boleh, kecuali bagi salah satu dari ketiga orang ini; orang yang memikul beban
berat, maka halal baginya meminta hingga dia memperoleh kebutuhannya, lalu dia
menghentikan perbuatannya; orang yang terkena musibah besar yang memusnahkan
kekayaannya, maka halal baginya meminta sehingga dia memperoleh penopang
penghidupan; dan orang yang terkena kemiskinan hebat hingga ada tiga orang yang
berkelayakan dari kerabat kaumnya yang bangkit, lalu mereka
berkata,’Sesungguhnya, si fulan telah tertimpa kemiskinan hebat’, maka halal
baginya meminta-minta hingga dia memperoleh penopang penghidupan. Jika ada
orang yang meminta-minta selain kedua (Ketiga?) orang itu, maka dia memakan
kemurkaan”.(HR. Muslim)
Yang dimaksud sabilillah, diantaranya ialah orang-orang yang
berperang sedang mereka tidak memiliki bagian dari pembagian untuk dewan
pimpinan. Menurut Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq bahwa orang yang berhaji juga
termasuk sabilillah karena ada hadits yang menerangkan hal itu. (Penyusun buku
berkata: Namun, tidak disebutkan hadits yang menunjukkan bahwa haji termasuk
kedalam sabilillah).
Adapun ibnu sabil ialah orang yang bepergian melintasi
berbagai negeri. Dia tidak memiliki bekal dalam perjalanannya. Dia berhak
menerima zakat sekadar untuk memenuhi kebutuhannya hingga sampai di negerinya,
walaupun dia memiliki harta. Hukum ini berlaku pula terhadap orang yang
merencanakan perjalanan dari negerinya sedang dia tidak memiliki bekal, maka
dia dapat diberi dari harta zakat untuk memenuhi biaya pergi dan pulangnya.
Dalil atas ketentuan tersebut adalah ayat diatas dan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abi Said r.a dia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Zakat tidak dihalalkan bagi orang kaya, kecuali bagi lima
golongan; orang yang mengurus zakat, orang yang membelinya dari hartanya, orang
yang berutang, orang yang berperang dijalan Allah, atau orang miskin yang
menerima zakat kemudian sebagiannya diberikan kepada orang kaya.
(Sumber: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad
Nasib Ar-Rifa’i)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar