Rabu, 21 Januari 2015

Upaya Memahami Bid'ah



Ditengah masyarakat muslim, banyak ritual-ritual keagamaan yang tidak bersandar kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Terkadang, ritual-ritual itu dikaitkan dengan tradisi. Padahal, tidaklah patut melakukan ritual keagamaan tanpa dasar yang kuat. Namun, Tidak mudah untuk merubah kebiasaan tersebut.
 
Sebuah buku “Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah, Syekh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Penerjemah Ahmad Masykur MZ. Dicetak dan diedarkan Departemen Agama, Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan Kerajaan Saudi Arabia”, mencoba memberi penjelasan yang berhubungan dengan pola pikir tersebut.


Mungkin ada diantara pembaca yang bertanya, bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khattab r.a setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika ia keluar ia mendapatkan para jama’ah sedang berkumpul dengan imam mereka, kemudian ia berkata:” Inilah sebaik-baik bid’ah...dst”.
Jawabannya:

Pertama, bahwa tidak seorangpun diantara kita yang boleh menentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dengan perkataan Abu bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Allah SWT berfirman:

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih. (QS. An-Nur 63)

Imam Ahmad bin Hambal berkata:” Tahukah kamu, apakah yang dimaksud dengan fitnah? Fitnah yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan jadi binasa.”

Ibnu Abbas berkata:” Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit, kukatakan:’ Rasulullah bersabda, tapi kalian mengatakan Abu Bakar dan Umar berkata”. 

Kedua, kita yakin kalau Umar r.a termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah SWT dan sabda Rasul-Nya. Beliau pun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan Allah SWT, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (mas kawin) dengan firman Allah SWT yang artinya:” Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak...” bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar.

Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi kesahihannya, tetapi maksudnya dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seseorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.

Oleh karena itu, tidak pantas bila Umar r.a menentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid’ah:” Inilah sebaik-baik bid’ah”. Padahal bid’ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:” Setiap bid’ah adalah kesesatan”.

Akan tetapi bid’ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid’ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah tersebut, maksudnya adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunnat pada malam bulan Ramadhan dengan suatu imam, dimana sebelumya mereka melakukannya sendiri-sendiri.

Sedangkan shalat sunnat itu sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyidina Aisyah Radliallahu anha bahwa:” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qiyamullail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannya pada malam keempat dan bersabda:
Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedangkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya. (HR. Bukhari-Muslim)

Jadi qiyamullail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Namun disebut bid’ah oleh Umar r.a dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada diantara orang yang melakukannya sendiri-sendiri. Ada yang melakukannya dengan berjamaah dengan beberapa orang saja, dan ada pula yang berjamaah dengan orang banyak, akhirnya Amirul Mu’minin Umar r.a dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid’ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu, tetapi sebenarnya bukanlah bid’ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dengan penjelasan ini, tidak ada alasan apapun bagi ahli bid’ah untuk menyatakan perbuatan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah.

Mungkin juga diantara pembaca ada yang bertanya, ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam seperti; adanya sekolah, penyusunan buku dan lain sebagainya, hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dianggap sebagai amal kebaikan, lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :” Setiap bid’ah adalah kesesatan?”
Jawaban:

Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid’ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah :” Sarana dihukumi menurut tujuannya.” Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya juga tidak diperintahkan; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.
Firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. (QS. Al-An’am 108)

Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang musyrik itu dibenarkan dan termasuk pada tempatnya, sebaliknya menjelek-jelekkan Allah Robbul ‘Alamin itu perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan itu menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang.

Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana itu dihukumi menurut tujuannya.

Adanya sekolah-sekolah, ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab dan lain sebagainya, walaupun termasuk hal yang baru dan belum pernah dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tapi itu semua bukan tujuan, melainkan hanya sebagai sarana, sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya.

Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila tujuannya untuk pengajaran ilmu syar’i maka pembangunan itu diperintahkan.

Jika ada yang bertanya, bagaimana jawaban anda tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam;

Barangsiapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatan itu.

Kata “ sanna “ disini berarti membuat atau mengadakan.
Jawaban:
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan bahwa “setiap bid’ah adalah kesesatan”, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan antara satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali, karena anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah atau sabda Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi menyatakan:” Man Sanna fil Islam”, yang artinya:” Barangsiapa yang berbuat dalam Islam”, sedangkan bid’ah tidak termasuk dalam Islam. Kemudian menyatakan:” Sunnah hasanah “, berarti sunnah yang baik”, sedangkan bid’ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara melakukan sunnah dan mengerjakan bid’ah.

Jawaban lainnya:
Bahwa kata “Man Sanna” bisa diartikan pula dengan :” Barangsiapa yang menghidupkan sunnah” yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “Sanna” tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang diambil dari sebab turunnya hadist diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seseorang dari Anshor dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkan dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seketika itu berseri-serilah wajah beliau seraya bersabda:

Barangsiapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatan dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu.

Dari sini, dapat dipahami bahwa arti “Sanna” ialah melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau:” Man Sanna Fil Islam Sunnah Hasalah), yaitu:” Barangsiapa yang melaksanakan sunnah yang baik”, bukan membuat atau mengadakannya. Karena yang demikian  ini dilarang, berdasarkan sabda beliau:” Kullu bid’ah dlolalah”.

(Sumber: Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah, Syekh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Penerjmah Ahmad Masykur MZ. Dicetak dan diedarkan Departemen Agama, Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan Kerajaan Saudi Arabia)



Tidak ada komentar: