Ditengah masyarakat muslim, banyak ritual-ritual keagamaan
yang tidak bersandar kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam. Terkadang, ritual-ritual itu dikaitkan dengan tradisi.
Padahal, tidaklah patut melakukan ritual keagamaan tanpa dasar yang kuat.
Namun, Tidak mudah untuk merubah kebiasaan tersebut.
Sebuah buku “Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah,
Syekh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Penerjemah Ahmad Masykur MZ. Dicetak dan
diedarkan Departemen Agama, Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan Kerajaan Saudi Arabia”,
mencoba memberi penjelasan yang berhubungan dengan pola pikir tersebut.
Mungkin ada diantara pembaca yang bertanya, bagaimanakah
pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khattab r.a setelah memerintahkan
kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan
Ramadhan. Ketika ia keluar ia mendapatkan para jama’ah sedang berkumpul dengan
imam mereka, kemudian ia berkata:” Inilah sebaik-baik bid’ah...dst”.
Jawabannya:
Pertama, bahwa tidak seorangpun diantara kita yang boleh menentang sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dengan perkataan Abu bakar, Umar,
Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Allah SWT
berfirman:
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul)
takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih. (QS. An-Nur 63)
Imam Ahmad bin Hambal berkata:” Tahukah kamu, apakah yang
dimaksud dengan fitnah? Fitnah yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak
sebagian sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan terjadi pada
hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan jadi binasa.”
Ibnu Abbas berkata:” Hampir saja kalian dilempar batu dari
atas langit, kukatakan:’ Rasulullah bersabda, tapi kalian mengatakan Abu Bakar
dan Umar berkata”.
Kedua, kita yakin kalau Umar r.a termasuk orang yang sangat menghormati firman
Allah SWT dan sabda Rasul-Nya. Beliau pun terkenal sebagai orang yang berpijak
pada ketentuan Allah SWT, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan
sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah
perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar
(mas kawin) dengan firman Allah SWT yang artinya:” Sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak...” bukan
rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar.
Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi kesahihannya, tetapi
maksudnya dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seseorang yang senantiasa
berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.
Oleh karena itu, tidak pantas bila Umar r.a menentang sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid’ah:” Inilah
sebaik-baik bid’ah”. Padahal bid’ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam:” Setiap
bid’ah adalah kesesatan”.
Akan tetapi bid’ah yang dikatakan
oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid’ah yang tidak termasuk dalam sabda
Rasulullah tersebut, maksudnya adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan
shalat sunnat pada malam bulan Ramadhan dengan suatu imam, dimana sebelumya
mereka melakukannya sendiri-sendiri.
Sedangkan shalat sunnat itu
sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyidina Aisyah Radliallahu anha bahwa:” Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qiyamullail (bersama para
sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannya pada malam
keempat dan bersabda:
Sesungguhnya aku takut
kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedangkan kamu tidak mampu untuk
melaksanakannya. (HR. Bukhari-Muslim)
Jadi qiyamullail (shalat malam) di
bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Namun disebut bid’ah oleh Umar r.a
dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah
menghentikannya pada malam keempat, ada diantara orang yang melakukannya
sendiri-sendiri. Ada yang melakukannya dengan berjamaah dengan beberapa orang
saja, dan ada pula yang berjamaah dengan orang banyak, akhirnya Amirul Mu’minin
Umar r.a dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam.
Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid’ah, bila dibandingkan
dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu, tetapi sebenarnya
bukanlah bid’ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Dengan penjelasan ini, tidak ada
alasan apapun bagi ahli bid’ah untuk menyatakan perbuatan bid’ah mereka sebagai
bid’ah hasanah.
Mungkin juga diantara pembaca ada
yang bertanya, ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam
seperti; adanya sekolah, penyusunan buku dan lain sebagainya, hal-hal baru
seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dianggap sebagai amal
kebaikan, lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum
muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :” Setiap
bid’ah adalah kesesatan?”
Jawaban:
Kita katakan bahwa hal-hal seperti
ini sebenarnya bukan bid’ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan
perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya.
Sebagaimana disebutkan dalam kaedah :” Sarana dihukumi menurut tujuannya.” Maka
sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan; sarana untuk
perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya juga tidak diperintahkan; sedang
sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan
jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang
buruk dan jahat.
Firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu
memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. (QS. Al-An’am
108)
Padahal menjelek-jelekkan sembahan
orang-orang musyrik itu dibenarkan dan termasuk pada tempatnya, sebaliknya
menjelek-jelekkan Allah Robbul ‘Alamin itu perbuatan durjana dan tidak pada
tempatnya. Namun, karena perbuatan itu menyebabkan mereka akan mencaci maki
Allah, maka perbuatan tersebut dilarang.
Ayat ini sengaja kami kutip,
karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana itu dihukumi menurut
tujuannya.
Adanya sekolah-sekolah, ilmu
pengetahuan dan penyusunan kitab dan lain sebagainya, walaupun termasuk hal
yang baru dan belum pernah dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam tapi itu semua bukan tujuan, melainkan hanya sebagai sarana, sedangkan
sarana dihukumi menurut tujuannya.
Jadi seandainya ada seseorang
membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka
pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila tujuannya untuk
pengajaran ilmu syar’i maka pembangunan itu diperintahkan.
Jika ada yang bertanya, bagaimana
jawaban anda tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam;
Barangsiapa yang
memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam, maka ia mendapat pahala
perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatan itu.
Kata “ sanna “ disini berarti
membuat atau mengadakan.
Jawaban:
Bahwa orang yang menyampaikan
ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan bahwa “setiap bid’ah adalah
kesesatan”, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak mungkin
sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan
antara satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling
bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia
meneliti kembali, karena anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang
tidak mampu atau kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam
firman Allah atau sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dengan demikian, tidak ada
pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi menyatakan:” Man Sanna
fil Islam”, yang artinya:” Barangsiapa yang berbuat dalam Islam”, sedangkan
bid’ah tidak termasuk dalam Islam. Kemudian menyatakan:” Sunnah hasanah “,
berarti sunnah yang baik”, sedangkan bid’ah bukan yang baik. Tentu berbeda
antara melakukan sunnah dan mengerjakan bid’ah.
Jawaban lainnya:
Bahwa kata “Man Sanna” bisa
diartikan pula dengan :” Barangsiapa yang menghidupkan sunnah” yang telah
ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “Sanna” tidak berarti membuat
sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang
telah ditinggalkan.
Ada juga jawaban lain yang diambil
dari sebab turunnya hadist diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mereka itu dalam keadaan yang amat
sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian
dari harta mereka. Kemudian datanglah seseorang dari Anshor dengan membawa
sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkan dihadapan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seketika itu berseri-serilah wajah
beliau seraya bersabda:
Barangsiapa yang
memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam, maka ia mendapat pahala perbuatan
dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu.
Dari sini, dapat dipahami bahwa
arti “Sanna” ialah melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat
(mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau:” Man Sanna Fil Islam
Sunnah Hasalah),
yaitu:” Barangsiapa yang melaksanakan sunnah yang baik”, bukan membuat
atau mengadakannya. Karena yang demikian
ini dilarang, berdasarkan sabda beliau:” Kullu bid’ah dlolalah”.
(Sumber: Kesempurnaan Islam
Dan Bahaya Bid’ah, Syekh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Penerjmah Ahmad
Masykur MZ. Dicetak dan diedarkan Departemen Agama, Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan
Kerajaan Saudi Arabia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar