Tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan kebolehan
mengakhirkan shalat dengan sengaja dari waktu yang telah ditetapkan sehingga
orang yang mengakhirkan shalat dengan sengaja itu mempunyai dalil untuk
menyusul dan mengqadhanya. Dan tidak ada dalil yang ditetapkan oleh orang-orang
yang berpandangan tentang kebolehan mengqadha shalat kecuali sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:” Barangsiapa tertidur dari melaksanakan
shalat atau lupa, maka hendaklah dia melaksanakannya ketika ingat. Tidak ada
kafarat baginya kecuali dengan melakukan hal itu”.
Hadis ini dengan jelas sekali membantah mereka, bukan
mendukung mereka. Sebab, mereka telah mengqiaskan orang yang mengakhirkan
shalat dengan sengaja dengan orang yang mengakhirkan shalat karena uzur. Ini
merupakan qiyas ma’al fariq ‘qias untuk dua permasalahan yang berbeda’, seperti
terlihat dengan jelas. Sebab Syari’ (Allah) Yang Mahabijaksana yang telah
menggolongkan orang yang tertidur sehingga tidak melaksanakan shalat dan lupa
sebagai orang-orang yang terkena uzur, lalu dia diperintahkan untuk
melaksanakan shalat tersebut (sebagai kewajiban, bukan sebagai qadha) dengan
segera, ketika dia bangun atau ingat. Maka orang ini, dengan keadaan seperti
ini, adalah dimaafkan, sebab bukanlah menjadi kekuasaannya untuk bangun untuk
ingat, kecuali bila Allah menghendakinya. Maka dimanakah letak persamaan orang
ini dengan orang yang mengakhirkan shalat dengan sengaja dalam keadaan ingat
dan terjaga? Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
mengatakan:”Barangsiapa meninggalkan satu
kali shalat-dengan sengaja-maka dia telah berlepas diri dari jaminan Allah dan
Rasul-Nya”. Atau seperti sabda
lainnya.
Disamping itu, mereka juga
berhujjah dengan qadha shalat yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya pada perang Khandaq, walaupun mereka
sendiri mengetahui bahwa kejadian itu telah dimansukh dengan adanya shalat
khauf. Dan, mereka tidak dapat menjadikan peristiwa itu sebagai hujjah. Telah
kami jelaskan permasalahan-permasalahan ini dengan penjelasan yang menyeluruh
dalam tulisan kami yang bertajuk Nushususy Syari’ah ats-Tsabitah fi Hukmi
Qadhais-Shalawatil-Faaitah ‘ Teks Syari’ah yang Formal Ihwal Hukum Mengqadha
Shalat, dan telah diterbitkan. Dan sesungguhnya, orang-orang yang
memfatwakan tentang kebolehan mengqadha
shalat yang terlewat dari waktunya, telah membuka walaupun dengan tidak maksud
dari mereka, satu pintu, bahkan beberapa pintu untuk meninggalkan shalat secara
keseluruhan.
Mengingat orang yang meyakini
bahwa dia masih mendapatkan kemungkinan untuk mengqadha shalat, maka
pertama-tama mungkin dia hanya meninggalkan satu waktu saja. Kemudian berlanjut
menjadi dua waktu, kemudian satu hari, dua hari, satu minggu, dua minggu sampai
pada akhirnya dia meninggalkan shalat secara total. Kita berlindung kepada
Allah dari hal demikian. Lain hal nya bila dia mengetahui bahwa bila dia
meninggalkan satu shalat saja maka dia tidak mungkin lagi untuk mengqadhanya,
walaupun dengan shalat satu abad, maka dia akan berusaha keras untuk tidak
meninggalkan shalat walaupun satu kali.
Dari sinilah terlihat perbedaan
yang terang mengenai akibat pandangan yang mengatakan kebolehan mengqadha
shalat dan tidaknya. Allah lebih tahu. Allah Yang akan menunjukkan jalan
kebenaran. (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)
Pekanbaru, Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar