Rabu, 09 Juli 2014

Meneladani Sikap Hidup Sahabat Nabi Abdurrahman Bin Auf



Bagaimana sikap seorang Muslim dalam menjalani hidup? Apakah dengan menumpuk harta dengan sesekali peduli agama? Atau dengan beribadah terus menerus dengan meninggalkan hiruk pikuk dunia? Atau kita mengejar akhirat tetapi juga menguasai dunia untuk kemenangan dan kejayaan umat Islam?

Pilihan terakhir tentu yang terbaik. Itulah yang dicontohkan oleh sahabat Nabi, Abdurrahaman bin Auf. Ketika hijrah ke Madinah Abdurrahman dipersaudarakan dengan Sa’ad bin ar-Rabi’. Mengenai hal itu, Anas bin Malik menuturkan, Sa’ad berkata kepada Abdurrahman:”Wahai Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang paling banyak hartanya, lihatlah separuh hartaku lalu ambillah”. Abdurrahman bina Auf menjawab: “ Semoga Allah memberkahimu dan berkenan dengan keluarga dan hartamu. Tunjukkanlah padaku letak pasar”. Lalu ia pergi ke pasar, dan memulai usahanya sebagai pedagang untuk mendapatkan keuntungan.

Tatkala usaha niaganya mengalami kemajuan pesat, hatinya pun tak pernah goyah karena harta yang melimpah. Ia tetap meletakkan harta pada tangan dan sama sekali tak memberi ruang dalam hatinya. Tidak cukup hanya memberi harta, Abdurrahman selalu teringat para sahabatnya. Suatu waktu, ketika hendak menghadapi hidangan yang mengundang seleranya, ia tiba-tiba menangis seraya berkata:” Mush’ab bin Umair gugur sebagai syahid dan ia lebih baik daripada aku, lalu ia dikafani dengan selimut. Jika kepalanya ditutupi, maka kedua kakinya kelihatan dan jika kedua kakinya ditutupi, maka kepalanya kelihatan. Begitu pula dengan sahabatku Hamzah, ia syahid sedang ia lebih baik dariku. Ia tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya selain selimut. Kemudian dunia dbentangkan kepada kami, dan dunia diberikan kepada kami sedemikian rupa. Aku khawatir bila pahala kami telah disegerakan kepada kami didunia”.


Lebih-lebih tatkala dia teringat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya. Walaupun sedetik lagi dia menyantap makanan, seketika matanya berlinang air mata. Para sahabatnya pun bertanya:” Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Muhammad ? Ia menjawab:” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dalam keadaan ia dan keluarganya belum pernah kenyang makan roti gandum. Aku tidak melihat kita diakhirkan, karena suatu yang lebih baik bagi kita”.

Inilah potret orang-orang yang menerima keberkahan dan keberuntungan besar baik di dunia dan diakhirat. Tidakkah kita tertarik seperti sahabat Nabi yang mulai itu? (Sumber: Suara Hidayatullah, edisi Februari 2012)

Tidak ada komentar: