Bagaimana sikap seorang Muslim dalam menjalani hidup? Apakah
dengan menumpuk harta dengan sesekali peduli agama? Atau dengan beribadah terus
menerus dengan meninggalkan hiruk pikuk dunia? Atau kita mengejar akhirat
tetapi juga menguasai dunia untuk kemenangan dan kejayaan umat Islam?
Pilihan terakhir tentu yang terbaik. Itulah yang dicontohkan
oleh sahabat Nabi, Abdurrahaman bin Auf. Ketika hijrah ke Madinah Abdurrahman
dipersaudarakan dengan Sa’ad bin ar-Rabi’. Mengenai hal itu, Anas bin Malik
menuturkan, Sa’ad berkata kepada Abdurrahman:”Wahai Saudaraku, aku adalah
penduduk Madinah yang paling banyak hartanya, lihatlah separuh hartaku lalu
ambillah”. Abdurrahman bina Auf menjawab: “ Semoga Allah memberkahimu dan berkenan
dengan keluarga dan hartamu. Tunjukkanlah padaku letak pasar”. Lalu ia pergi ke
pasar, dan memulai usahanya sebagai pedagang untuk mendapatkan keuntungan.
Tatkala usaha niaganya mengalami kemajuan pesat, hatinya pun tak
pernah goyah karena harta yang melimpah. Ia tetap meletakkan harta pada tangan
dan sama sekali tak memberi ruang dalam hatinya. Tidak cukup hanya memberi
harta, Abdurrahman selalu teringat para sahabatnya. Suatu waktu, ketika hendak
menghadapi hidangan yang mengundang seleranya, ia tiba-tiba menangis seraya
berkata:” Mush’ab bin Umair gugur sebagai syahid dan ia lebih baik daripada
aku, lalu ia dikafani dengan selimut. Jika kepalanya ditutupi, maka kedua
kakinya kelihatan dan jika kedua kakinya ditutupi, maka kepalanya kelihatan.
Begitu pula dengan sahabatku Hamzah, ia syahid sedang ia lebih baik dariku. Ia
tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya selain selimut. Kemudian dunia
dbentangkan kepada kami, dan dunia diberikan kepada kami sedemikian rupa. Aku
khawatir bila pahala kami telah disegerakan kepada kami didunia”.
Lebih-lebih tatkala dia teringat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan keluarganya. Walaupun sedetik lagi dia menyantap makanan,
seketika matanya berlinang air mata. Para sahabatnya pun bertanya:” Apa yang
membuatmu menangis, wahai Abu Muhammad ? Ia menjawab:” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam meninggal dalam keadaan ia dan keluarganya belum pernah
kenyang makan roti gandum. Aku tidak melihat kita diakhirkan, karena suatu yang
lebih baik bagi kita”.
Inilah potret orang-orang yang menerima keberkahan dan
keberuntungan besar baik di dunia dan diakhirat. Tidakkah kita tertarik seperti
sahabat Nabi yang mulai itu? (Sumber: Suara Hidayatullah, edisi Februari 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar