Para sahabat sangat antusias ketika mendapat kesempatan untuk
mendengarkan pengajaran dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam. Coba
simak sikap Ubai bin Ka’ab dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad bin
Hambal dari Abu Hurairah r.a:
...Rasul bersabda:” Sukakah kamu bila kuajari sebuah surat
yang tidak diturunkan surat lain yang serupa dengannya didalam Taurat, Injil,
Zabur dan al-Furqan? Ubai menjawab:” Saya suka wahai Rasulullah”. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Sesungguhnya aku tidak mau keluar dari
pintu ini sebelum aku mengajarkannya”. Ubai berkata:” Kemudian Rasulullah
memegang tanganku sambil bercerita kepadaku. Saya memperlambat jalan karena
khawatir beliau akan sampai di pintu sebelum menuntaskan pembicaraannya...(Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, halaman 51, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)
Besar kekhawatiran Ubai bin Ka’ab akan kehilangan kesempatan
untuk mendapatkan pengajaran dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana
dengan kita? Banyak kesempatan untuk mendengarkan dan membaca pengajaran dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melalui media tatap muka, media
elektronik dan media cetak. Adakah keinginan besar di pikiran kita untuk
mendengar/membaca, memahami dan kemudian menjadikannya pegangan dalam menjalani
kehidupan. Artinya, mengamalkan sungguh-sungguh pengajaran Nabi itu?
Mungkin persoalannya (bagi yang selalu membuat persoalan), kita
bukan sahabat yang salah satunya Ubai bin Ka’ab. Ditambah lagi, zaman kita jauh
berbeda dengan zaman Ubai bin Ka’ab. Kita lebih sibuk dari Ubai. Persoalan ini
bertambah terus sesuai dengan jalan pikiran. Pikiran memang dapat memunculkan
berbagai alasan. Ada ungkapan:” Kalau hendak seribu jalan, kalau tak hendak
seribu alasan”.
Selama pemikiran seperti itu melekat erat didalam diri
seseorang, selama itu pula kebenaran sulit masuk kedalam pikiran dan hati. Kita
sendiri yang mempersulit. Padahal amat sangat banyak kemudahan telah tersedia.
Sangat disayangkan memang. Tetapi itulah manusia. Akal tanpa bimbingan iman,
dapat memunculkan berbagai alasan untuk menolak kebenaran. Alasan yang hanya
membawa kesulitan. Kesulitan didunia dan kesulitan sangat besar di akhirat
kelak.
Ada lagi pola pikir yang tidak kurang memberi kesulitan bagi
diri sendiri. Pengajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih
tidak mau diterima karena tidak sesuai dengan aktivitasnya, apakah itu
aktivitas keduniaan maupun aktivitas keagamaan. Walaupun sudah disampaikan
dengan dalil dan dasar yang kuat, tetap saja ditolak. Pola pikir ini membawa
pelakunya kepada kesibukan untuk mencari pembenaran. Pindah dari ustad yang
satu kepada ustad yang lain. “Lain
kajinya itu”, merupakan ungkapan pamungkas untuk tetap bertahan ketika
pembenaran tak juga didapat.
Pekanbaru, Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar