Rabu, 13 November 2013

Kisah Negeri Saba, Balasan Terhadap Keingkaran


Belajar dari sejarah umat manusia dimasa lalu, memberikan pengajaran bagi kita dalam menjalani kehidupan hari ini dan masa depan. Memahami peristiwa-peristiwa masa lalu, memberikan kearifan tersendiri. Oleh sebab itu, ada baiknya kita mencoba belajar dari kehidupan bangsa-bangsa  terdahulu. 

Salah satu pengajaran dapat kita ambil dari sejarah kerajaan Saba’. Negeri yang awalnya makmur, penuh dengan kenikmatan, kesenangan dan kelapangan, berubah menjadi negeri yang berisi kesulitan. Penyebabnya adalah kekafiran penduduknya, pendustaan terhadap kebenaran serta perpindahan kepada kebatilan.

Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir 3, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i menceritakan, bahwa Saba’ merupakan nama beberapa kerajaan di Yaman dan nama penduduknya. Kaum Tababi’ah termasuk bagian dari kerajaan Saba’, demikian pula Balqis yang menjadi sahabat Nabi Sulaiman. Mereka hidup di berbagai negerinya dalam kenikmatan, kesenangan, kelapangan dan keluasan rezeki baik berupa tanaman palawija maupun buah-buahan.

Kemudian Allah mengutus para rasul yang menyuruh mereka agar memakan sebagian rezeki-Nya, mensyukuri-Nya dengan jalan mengesakan-Nya dan menyembah-Nya. Mereka hidup dalam kondisi demikian hingga waktu yang dikehendaki Allah. Kemudian, berpaling dari perintah-Nya, maka mereka pun disiksa dengan mengirimkan banjir dan perpecahan antar kerajaan dan para pemangku kekuasaan.

Adapun soal bendungan, dibuat karena ada sungai yang mengalir dari dua gunung. Sungai itu melintasi negeri mereka. Disamping itu, oase-oase merekapun kerap dilimpahi hujan. Maka, sang raja mengumpulkan sejumlah orang untuk mematangkan rencana. Akhirnya, dibangunlah bendungan besar lagi kokoh diantara kedua gunung itu sehingga air meluap dan menggenangi wilayah sekitar kedua gunung tersebut. Dengan demikian, mereka dapat bercocok tanam dan membudidayakan tanaman buah yang menghasilkan buah yang berkwalitas baik dan banyak.

Kemakmuran mereka banyak dikemukakan oleh para ulama salaf, diantaranya Qatadah. Dia menceritakan bahwa seorang ibu berjalan dibawah pepohonan yang berbuah. Diatas kepalanya terdapat keranjang dan keranjang inilah yang “memetiki” buah, kemudian berjatuhan kedalamnya hingga penuh. Si ibu tidak perlu repot-repot memetik dengan tangannya, karena buah diatas kepalanya sangat banyak, matang dan bagus-bagus.

Bendungan tersebut terletak di Ma’rab, yaitu sebuah negeri antara Saba’ dan Shan’a, atau sekitar tiga mil dari Shan’a. Bendungan ini dikenal dengan nama Bendungan Ma’rab. Sebagian ulama menceritakan bahwa dinegara mereka tidak terdapat lalat, nyamuk dan serangga, bahkan tidak ada hama tanaman. Kondisi demikian karena udaranya stabil dan komposisinya berimbang. Semua itu merupakan karunia Allah  dan inayah-Nya.

Mereka beralih kepada penyembahan matahari, bukan Allah, sebagaimana dilaporkan oleh burung hudhud kepada Nabi Sulaiman a.s. Qatadah dan lainnya berkata,” Bendungan pun rapuh dan rentan. Kemudian datanglah musim penghujan. Lalu air menerjangnya hingga bendungan itu runtuh. Maka, air melimpah kelembah-lembah dan melibas segala yang dilaluinya berupa pepohonan, bangunan dan sebagainya. Karena itu, air tidak lagi mengairi pepohonan yang ditanam disisi kanan dan kiri gunung sehingga mati dan binasalah ia. Lalu, tumbuhlah pohon lain yang buruk menggantikan pohon buah yang lezat. Menurut Ibnu Abbas, pohon itu ialah pohon arak dan buahnya makanan kaum Barbar. Ada pula yang menyebutnya pohon samar.
Perubahan dua kebun yang semula sebagai kebun buah yang matang, pemandangan yang elok, naungan yang rimbun dan sungai-sungai yang mengalir menjadi dua kebun yang ditumbuhi pohon bidara, tharfa’ (tamarisk), dan sidr (pohon lotus, zyzypus spina) yang berduri banyak dan berbuah sedikit, adalah disebabkan oleh kekafiran dan kemusyrikan mereka kepada Allah serta disebabkan pendustaan mereka terhadap kebenaran dan perpindahan kepada kebatilan. 

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Khairah, yaitu salah seorang sahabat Ali r.a, dia berkata, “ Balasan atas kemaksiatan ialah penyepelean ibadah, sempitnya penghidupan, dan sulitnya mendapat kelezatan”. Artinya, tidaklah seseorang menemukan kelezatan barang halal melainkan diserobot orang lain. ( Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir 3, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i)
Pekanbaru, September 2013

Tidak ada komentar: