Namun, sangat disayangkan kebanyakan
mereka (yakni generasi penerus, baik ulama maupun para penuntut ilmu) tidak mau
menyempatkan membaca kitab-kitab tadi dengan serius. Itulah sebabnya mereka
tidak tahu derajat hadits yang telah mereka hafal di luar kepala, yang mereka
baca dan pelajari dalam berbagai kitab yang tidak menyebutkan dengan rinci
kedudukan hadits yang bersangkutan. Karena itu, kita sering mendapati hadits
dha’if atau maudhu’ diutarakan dalam kitab-kitab. Begitu juga para guru dan
dosen di kelas-kelas maupun di ruang kuliah. Tentu saja ini sangat berbahaya
dan saya khawatir jangan-jangan mereka termasuk orang-orang yang mndapat
ancaman seperti dimaksud sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
Barangsiapa
dengan sengaja berdusta dalam hadits-haditsku dengan sengaja, hendaklah ia
menempatkan dirinya dalam api neraka. (HR. Ashabus Sunan dan Ashabus Shahah)
Hal ini ditegaskan oleh Muhammad
Nashiruddin al-Albani dalam buku “Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu’ jilid 1.
Ditambahkannya, kalaupun mereka tidak
secara langsung mendustakan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam , mereka dikategorikan sebagai
pengikut atau mengekor dalam menyebar-luaskan hadits-hadits yang belum jelas sahih
dan dha’ifnya. Disamping itu, mereka juga mengetahui bahwa dalam hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ada yang dha’if dan ada pula yang
maudhu’. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengisyaratkan dalam sabdanya;
Cukuplah
sebagai pendusta bagi seseorang akibat berdusta karena menceritakan semua yang
didengarnya.(HR.Muslim)
Menurut al-Albani, para pakar hadits
telah melakukan penelitian dan menjelaskan keadaan hadits-hadits Rasulullah dengan
menghukuminya hadits sahih, dhaif dan maudhu’. Mereka pun membuat aturan dan
kaidah-kaidah, khususnya yang berkenaan dengan ilmu tersebut. Siapapun yang
berpengtahuan luas dalam ilmu ini akan mudah mengenali derajat suatu hadits,
sekalipun tanpa adanya nash. Inilah yang dikenal dengan nama Ilmu Mushthalah
Hadits.
Para ulama mutahir telah membuat dan
menyusun kitab secara khusus untuk mengenali hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menjelaskan kedudukannya. Yang paling
terkenal dan paling luas pembahasannya adalah kitab Al-Maqaashidul-Hasanah fi Bayaani Katsiirin minal
–Ahaditsil-Musytaharah ‘alal-Alsinah karangan al-Hafizh as- Sakhawi.
Berikutnya kitab Nashabur-Rayah li
Ahadiitsil-Hidaayah karangan al-Hafizh az-Zayla’i. Kitab ini menjelaskan keadaan
atau derajat hadits-hadits yang banyak diutarakan oleh ulama yang bukan pakar
hadits, serta menjelaskan mana yang benar-benar hadits dan mana yang bukan.
Kitab-kitab lain diantaranya Al-Mughni ‘an Hamlil –Asfari fi takhriji ma
fil-Ahya ‘I minal-Akhbar karangan al-Hafizh al-Iraqi, Talkhisul-Habir fi Takhriiji Ahaaditsir-Rafi’il Kabiri karangan
Ibnu Hajar al-Asqalani, Takhrij Ahadits
al-Kasysyaf karangan Ibnu Hajar dan Takhrij
Ahadits asy—Syifa’ karangan as-Sayuti.
Para ulama tadi telah memudahkan dan
membuka jalan kemudahan bagi para generasi sesudahnya untuk mengetahui dan
mengenali derajat tingkatan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Namun, sangat disayangkan kebanyakan mereka (yakni generasi penerus,
baik ulama maupun para penuntut ilmu) tidak mau menyempatkan membaca
kitab-kitab tadi dengan serius. Itulah sebabnya mereka tidak tahu derajat
hadits yang telah mereka hafal di luar kepala, yang mereka baca dan pelajari
dalam berbagai kitab yang tidak menyebutkan dengan rinci kedudukan hadits yang
bersangkutan. Karena itu, kita sering mendapati hadits dha’if atau maudhu’
diutarakan dalam kitab-kitab. Begitu juga para guru dan dosen di kelas-kelas
maupun di ruang kuliah. Tentu saja ini sangat berbahaya dan saya khawatir
jangan-jangan mereka termasuk orang-orang yang mndapat ancaman seperti dimaksud
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
Barangsiapa
dengan sengaja berdusta dalam hadits-haditsku dengan sengaja, hendaklaj ia
menempatkan dirinya dalam api neraka. (HR. Ashabus Sunan dan Ashabus Shahah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar