Dari media massa saya dapatkan informasi, bahwa ada jemaah
yang kopernya dibongkar petugas di bandara karena terlihat membawa batu krikil.
Boleh jadi, hal itu dilakukan oleh jemaah tersebut karana khawatir tidak
mendapatkan batu di Musdalifah. Padahal batu itu sangat dibutuhkan untuk
melontar jumrah.
Kekhawatiran tidak dapat melaksanakan ibadah haji dengan
baik, saya alami juga ketika akan berangkat haji pertama kalinya. Padahal
sahabat yang sudah dua kali berhaji, berusaha meyakinkan saya bahwa tidak
banyak kesulitan dalam pelaksanakan haji itu. Ikuti saja kegiatannya dengan
sungguh-sungguh dan tidak usah panik.
Ternyata semua yang disampaikan sahabat itu benar adanya. Walaupun berada
ditengah-tengah banyaknya manusia, tidaklah sesulit yang dibayangkan. Atur saja
waktu beraktivitas. Misalnya, ke toilet atau kamar mandi. Usahakan tidak dekat
dengan waktu shalat. Karena, jika sudah dekat waktu shalat, banyak sekali yang
membutuhkannya. Antrian bisa cukup panjang.
Ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran saya waktu itu.
Setelah di Masjidil Haram saya baru tahu bahwa Safa dan Marwa itu tidak jauh
dari Ka’bah. Tidak ada kesulitan untuk Sa’i. Saya juga baru tahu bahwa jumlah
batu di Musdalifah itu sangat banyak dan mudah menemukannya. Hanya butuh waktu
beberapa menit. Padahal waktu yang tersedia cukup lama.
Ketika melontar, saya juga tidak mengalami kesulitan. Jumrah
itu sudah berbentuk dinding tembok besar (sekitar 20 meter). Dapat melontar
dari kedua sisinya. Waktu itu melontar dapat dilakukan di dua lantai. Sekarang
sudah 5 lantai. Areal disekitar jumrah
juga cukup luas.
Setelah melontar, memang perlu sedikit hati-hati melihat
rambu-rambu untuk pulang ke tenda. Semua tenda itu hampir sama bentuknya. Saya
menemukan beberapa orang jemaah yang tersesat dan kebingungan. Menurut saya,
hal itu terjadi karena kelalaian memperhatikan tanda-tanda. Setiap kelompok tenda,
ada nomornya. Nomor ini cukup mudah dilihat. Salah satu cara agar tidak
tersesat, ketika akan menuju tempat melontar, selalulah memperhatikan
tanda-tanda tersebut. Setelah berjalan beberapa meter, berbaliklah dan melihat
jalan yang sudah dilalui. Jadikan bangunan atau nomor/tulisan besar yang ada
dipinggir jalan sebagai tanda/patokan. Langkah ini sangat berguna, ketika
pulang kita sudah memiliki panduan.
Selalu membuat tanda/patokan ini benar-benar saya rasakan
manfaatnya. Waktu-waktu luang setelah melaksanakan ibadah di masjid,
selalu saya manfaatkan untuk
berjalan-jalan. Banyak tempat disekitar Mekah dan Madinah yang sempat saya
kunjungi bersama isteri dengan berjalan kaki. Dari Gua Hira, kami berjalan kaki
ke Masjidil Haram. Bahkan pada malam hari pun, kami sempatkan berjalan kaki
dari Masjidil Haram ke Aziziah Simaliyah yang jaraknya sekitar 5 km. Selesai
shalat subuh di Masjid Nabawi, kami gunakan waktu untuk berkeliling kota
Madinah.
Tersesat pernah. Tetapi tidak jauh-jauh dan tidak panik. Setelah kehilangan tanda/patokan, kami
kembali kepangkal jalan. Memperhatikan tanda/patokan dengan lebih cermat lagi.
Melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh, selalu berdo’a memohon pertolongan
dan ampunan-Nya, serta menjauhkan diri dari takabur, membuat ibadah haji
memiliki nilai dan kesan tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar