Untuk menghindari kemacetan dan tidak ingin repot-repot
memarkir kendaraan (mobil), selama berdomisili di Bandung saya lebih suka
menggunakan angkot ketika bepergian. Hampir semua jalan di Kota Bandung
dilewati angkot. Jadi, tidak sulit untuk bepergian.
Beberapa kali naik angkot, saya memilih duduk didepan. Lebih
nyaman dan dapat melihat-lihat. Namun, kenyamanan itu kadang sedikit terganggu
dengan keramahan pengemudi. Berdasarkan pengalaman saya, pengemudi angkot di
kota Bandung suka bercerita. Baru saja kita duduk disampingnya, si pengemudi
mulai bercerita. Persoalannya adalah, si pengemudi bercerita menggunakan bahasa
sunda, padahal saya tidak menguasai bahasa tersebut. Saya lebih banyak senyum dan
“ ya.... ya “ saja, berusaha mengimbangi
keramahan pengemudi angkot.
Secara umum, pengemudi angkot di Kota Bandung cukup ramah.
Kesan ini juga dirasakan oleh taman-teman dari Sumatera ketika berkunjung ke Bandung. Jika kita kurang paham jalur angkot
untuk menuju ke suatu tempat, dengan senang hati pengemudi angkot atau
penumpang lainnya akan memberikan penjelasan. Kondisi ini sulit didapatkan di
kota lain.
Suatu kali saya menemani isteri berbelanja di Pasar Baru
Bandung. Ketika melihat ada sebuah
bangku kosong, saya duduk sambil melihat-lihat keramaian. Pasar Baru Bandung
selalu ramai. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak mendekati saya dan langsung
saja bercerita panjang lebar. Lagi-lagi saya hanya senyum-senyum dan sesekali
bilang ya..ya untuk mengimbangi keramahan bapak tersebut. Cukup lama kami
berbicara.
Rupanya dari jauh isteri saya memperhatikan. Mengira saya ada
teman ngobrol, isteri saya nyaman-nyaman saja berbelanja. Setelah selesai berbelanja,
isteri saya datang menghampiri. Ketika dia tahu bahwa si bapak bercerita
menggunakan bahasa sunda, isteri saya pun senyum-senyum dan kami pamit. “ Abang
tahu apa yang dia ceritakan? tanya isteri saya. “ Tidak tahu”, jawab saya
singkat. Isteri saya pun tak dapat menahan tawa.
Satu kali seorang tetangga bertamu kerumah. Dia bercerita
panjang lebar, bahasanya campur-campur. Kadang bahasa Indonesia, tapi lebih
banyak bahasa sunda. Setelah si tamu pulang, isteri saya mencoba menjelaskan
garis besar yang diceritakan si tamu. Isteri saya, walaupun bukan orang sunda
tapi cukup menguasai bahasa sunda. Karenanya selalu menjadi penterjemah.
Perjalanan Bandung ke Jakarta, saya lebih suka menggunakan
jalur Puncak. Jalur ini memang selalu padat dan macet, tetapi pemandangannya
indah. Saya pernah terjebak macet selama kurang lebih 7 jam. Ketika itu malam
tahun baru. Walaupun macet, namun jalur Puncak memberikan kenyamanan
tersendiri. Udaranya sejuk dan pemandangan yang indah dapat menghilangkan
kelelahan.
Salah satu tempat istirahat bagi saya adalah Masjid di
Puncak. Masjid ini terawat, bersih, tempat wudunya banyak dan selalu ramai.
Suatu ketika, sambil menunggu waktu shalat, saya mengobrol dengan seorang
bapak-bapak. “ Tapi bukan orang Bandung kan”, kata si bapak ketika saya
jelaskan bahwa saya dari Bandung. Mungkin ucapan dan intonasi bahasa saya belum
sama dengan orang Bandung, jadi langsung bisa ditebak.
Kesan paling mendalam saya rasakan ketika berpamitan dengan
jemaah masjid di dekat rumah. Kepada salah seorang pengurus saya informasikan,
bahwa saya dan keluarga akan kembali ke kampung halaman di Sumatera. Selesai
shalat berjemaah, si bapak berdiri dan berbicara dalam bahasa sunda. Karena dia
menyebut nama saya, saya paham bahwa dia menginformasikan kepindahan kami. Saya
diminta berdiri dan para jemaah secara bergiliran menyalami saya. Sungguh
sebuah keramahan yang tidak akan terlupakan. Terimakasih Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar