Rabu, 14 November 2012

Pengalaman Berdomisili Di Bandung

Untuk menghindari kemacetan dan tidak ingin repot-repot memarkir kendaraan (mobil), selama berdomisili di Bandung saya lebih suka menggunakan angkot ketika bepergian. Hampir semua jalan di Kota Bandung dilewati angkot. Jadi, tidak sulit untuk bepergian.

Beberapa kali naik angkot, saya memilih duduk didepan. Lebih nyaman dan dapat melihat-lihat. Namun, kenyamanan itu kadang sedikit terganggu dengan keramahan pengemudi. Berdasarkan pengalaman saya, pengemudi angkot di kota Bandung suka bercerita. Baru saja kita duduk disampingnya, si pengemudi mulai bercerita. Persoalannya adalah, si pengemudi bercerita menggunakan bahasa sunda, padahal saya tidak menguasai bahasa tersebut. Saya lebih banyak senyum dan “ ya.... ya  “ saja, berusaha mengimbangi keramahan pengemudi angkot.

Secara umum, pengemudi angkot di Kota Bandung cukup ramah. Kesan ini juga dirasakan oleh taman-teman dari Sumatera ketika berkunjung  ke Bandung. Jika kita kurang paham jalur angkot untuk menuju ke suatu tempat, dengan senang hati pengemudi angkot atau penumpang lainnya akan memberikan penjelasan. Kondisi ini sulit didapatkan di kota lain.

Suatu kali saya menemani isteri berbelanja di Pasar Baru Bandung. Ketika melihat  ada sebuah bangku kosong, saya duduk sambil melihat-lihat keramaian. Pasar Baru Bandung selalu ramai. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak mendekati saya dan langsung saja bercerita panjang lebar. Lagi-lagi saya hanya senyum-senyum dan sesekali bilang ya..ya untuk mengimbangi keramahan bapak tersebut. Cukup lama kami berbicara.

Rupanya dari jauh isteri saya memperhatikan. Mengira saya ada teman ngobrol, isteri saya nyaman-nyaman saja berbelanja. Setelah selesai berbelanja, isteri saya datang menghampiri. Ketika dia tahu bahwa si bapak bercerita menggunakan bahasa sunda, isteri saya pun senyum-senyum dan kami pamit. “ Abang tahu apa yang dia ceritakan? tanya isteri saya. “ Tidak tahu”, jawab saya singkat. Isteri saya pun tak dapat menahan tawa.

Satu kali seorang tetangga bertamu kerumah. Dia bercerita panjang lebar, bahasanya campur-campur. Kadang bahasa Indonesia, tapi lebih banyak bahasa sunda. Setelah si tamu pulang, isteri saya mencoba menjelaskan garis besar yang diceritakan si tamu. Isteri saya, walaupun bukan orang sunda tapi cukup menguasai bahasa sunda. Karenanya selalu menjadi penterjemah.

Perjalanan Bandung ke Jakarta, saya lebih suka menggunakan jalur Puncak. Jalur ini memang selalu padat dan macet, tetapi pemandangannya indah. Saya pernah terjebak macet selama kurang lebih 7 jam. Ketika itu malam tahun baru. Walaupun macet, namun jalur Puncak memberikan kenyamanan tersendiri. Udaranya sejuk dan pemandangan yang indah dapat menghilangkan kelelahan.

Salah satu tempat istirahat bagi saya adalah Masjid di Puncak. Masjid ini terawat, bersih, tempat wudunya banyak dan selalu ramai. Suatu ketika, sambil menunggu waktu shalat, saya mengobrol dengan seorang bapak-bapak. “ Tapi bukan orang Bandung kan”, kata si bapak ketika saya jelaskan bahwa saya dari Bandung. Mungkin ucapan dan intonasi bahasa saya belum sama dengan orang Bandung, jadi langsung bisa ditebak.

Kesan paling mendalam saya rasakan ketika berpamitan dengan jemaah masjid di dekat rumah. Kepada salah seorang pengurus saya informasikan, bahwa saya dan keluarga akan kembali ke kampung halaman di Sumatera. Selesai shalat berjemaah, si bapak berdiri dan berbicara dalam bahasa sunda. Karena dia menyebut nama saya, saya paham bahwa dia menginformasikan kepindahan kami. Saya diminta berdiri dan para jemaah secara bergiliran menyalami saya. Sungguh sebuah keramahan yang tidak akan terlupakan. Terimakasih Bandung.




Tidak ada komentar: