Ada sepasang suami isteri yang sedang jalan-jalan di kota
Yogyakarta. Mereka asyik memperhatikan barang yang dijual sepanjang jalan. Yang
tadinya tidak ingin, karena melihat yang baru dan bagus, maka jadi ingin
membelinya. Beragam alasan memang paling mudah dibuat. “ Rumah kita kan dingin,
lantainya harus ada karpetnya. Pojoknya kurang menarik, jadi harus ada guci.”
Ungkapnya. Pada saat akan masuk ke toko guci, datanglah seorang anak kecil
peminta-minta yang terlihat kumuh. “ Ibu, minta uang, saya lapar”. “ Uh,
dimana-mana banyak orang minta-minta, “ gerutu sang isteri”. Itu orang tuanya
yang tidak berusaha mendidik atau mungkin sengaja, kan ada sindikatnya. Anak
kecil itu diperdaya.” Kemudian mereka memberikan uang seratus rupiah kepada
anak itu.
Lalu masuklah sepasang suami isteri itu ke toko guci dan
saling tawar menawar harga. Hingga akhirnya mereka sepakat dengan harga sekian
ratus ribu. Sebetulnya, mereka merasa bahwa barang itu sangat mahal buat
mereka. “Tapi tak apalah, sekali-sekali”, gumam sang isteri. Dan, guci itupun
kini telah terjual.
Sesaat kemudian, sang suami ingin pergi dahulu, meninggalkan
isterinya sebentar. “Bingung nih menyimpan gucinya”, kata sang suami. Kemudian
suaminya pergi sebentar dan gucinya ditunggui sang isteri. Ketika sang suami
mundur, guci itu tersenggol, sehingga pecahlah guci seharga 100-200 ribu itu.
Dan, ketika guci itu pecah, air mata si isteri mengalir. “ Udahlah mah”, kata
sang suami.” Guci segitu aja kok bisa bikin menangis. Nanti juga ada rezekinya
lagi”. “Pah”, kata sang isteri.” Yang membuat mamah menangis bukan masalah gucinya
yang pecah, tapi perilaku kita. Kita melihat orang lain yang lapar dan
meminta-minta, tapi kita hanya memberikan uang seratus rupiah saja. Itu pun
dengan berat dan mengumpat. Sebaliknya, kita begitu ringan membeli benda untuk
selera nafsu kita, 100-200 ribu, tanpa takut kelak ditanyakan di yaumil hisab.
Kini Allah menakdirkan guci ini pecah. Coba uang ini diberikan kepada anak-anak
yang miskin. Bisa digunakan untuk biaya sekolah. Mungkin bisa dipakai pula
untuk membayar kontrakan rumah. Atau bahkanhal penting lainnya bagi mereka”.
Maka menanguslah keduanya. Menyesali dan bertaubat atas kekhilafannya menuruti
hawa nafsu.
Memang, sering manusia begitu mudah mengeluarkan uang demi
menuruti hawa nafsu. Demi sekedar keinginan sesaat. Dan, bisa jadi barang
tersebut tidak terlalu dibutuhkan. Sebaliknya, manusia cenderung agak sulit
mengeluarkan uang untuk amal shalih. Padahal yang menyelamatkan kita, bukanlah
benda-benda pemuas keinginan, tapi jaminan dan janji Allah. Dan, jaminan ini
hanya didapat bila senantiasa berupaya memperbanyak amal shalih. Maka,
berhati-hatilah sahabat, karena nafsu yang diperturutkan benar-benar membuat
kita selalu berat untuk beramal dan hanya akan menyengsarakan kita.
(Sumber: KH. Abdullah Gymnastiar, Bulletin Keluarga
Sakinah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar