Kamis, 19 Juli 2012

Membatasi Keinginan Diri

Ada sepasang suami isteri yang sedang jalan-jalan di kota Yogyakarta. Mereka asyik memperhatikan barang yang dijual sepanjang jalan. Yang tadinya tidak ingin, karena melihat yang baru dan bagus, maka jadi ingin membelinya. Beragam alasan memang paling mudah dibuat. “ Rumah kita kan dingin, lantainya harus ada karpetnya. Pojoknya kurang menarik, jadi harus ada guci.” Ungkapnya. Pada saat akan masuk ke toko guci, datanglah seorang anak kecil peminta-minta yang terlihat kumuh. “ Ibu, minta uang, saya lapar”. “ Uh, dimana-mana banyak orang minta-minta, “ gerutu sang isteri”. Itu orang tuanya yang tidak berusaha mendidik atau mungkin sengaja, kan ada sindikatnya. Anak kecil itu diperdaya.” Kemudian mereka memberikan uang seratus rupiah kepada anak itu.

Lalu masuklah sepasang suami isteri itu ke toko guci dan saling tawar menawar harga. Hingga akhirnya mereka sepakat dengan harga sekian ratus ribu. Sebetulnya, mereka merasa bahwa barang itu sangat mahal buat mereka. “Tapi tak apalah, sekali-sekali”, gumam sang isteri. Dan, guci itupun kini telah terjual.


Sesaat kemudian, sang suami ingin pergi dahulu, meninggalkan isterinya sebentar. “Bingung nih menyimpan gucinya”, kata sang suami. Kemudian suaminya pergi sebentar dan gucinya ditunggui sang isteri. Ketika sang suami mundur, guci itu tersenggol, sehingga pecahlah guci seharga 100-200 ribu itu. Dan, ketika guci itu pecah, air mata si isteri mengalir. “ Udahlah mah”, kata sang suami.” Guci segitu aja kok bisa bikin menangis. Nanti juga ada rezekinya lagi”. “Pah”, kata sang isteri.” Yang membuat mamah menangis bukan masalah gucinya yang pecah, tapi perilaku kita. Kita melihat orang lain yang lapar dan meminta-minta, tapi kita hanya memberikan uang seratus rupiah saja. Itu pun dengan berat dan mengumpat. Sebaliknya, kita begitu ringan membeli benda untuk selera nafsu kita, 100-200 ribu, tanpa takut kelak ditanyakan di yaumil hisab. Kini Allah menakdirkan guci ini pecah. Coba uang ini diberikan kepada anak-anak yang miskin. Bisa digunakan untuk biaya sekolah. Mungkin bisa dipakai pula untuk membayar kontrakan rumah. Atau bahkanhal penting lainnya bagi mereka”. Maka menanguslah keduanya. Menyesali dan bertaubat atas kekhilafannya menuruti hawa nafsu.

Memang, sering manusia begitu mudah mengeluarkan uang demi menuruti hawa nafsu. Demi sekedar keinginan sesaat. Dan, bisa jadi barang tersebut tidak terlalu dibutuhkan. Sebaliknya, manusia cenderung agak sulit mengeluarkan uang untuk amal shalih. Padahal yang menyelamatkan kita, bukanlah benda-benda pemuas keinginan, tapi jaminan dan janji Allah. Dan, jaminan ini hanya didapat bila senantiasa berupaya memperbanyak amal shalih. Maka, berhati-hatilah sahabat, karena nafsu yang diperturutkan benar-benar membuat kita selalu berat untuk beramal dan hanya akan menyengsarakan kita.
(Sumber: KH. Abdullah Gymnastiar, Bulletin Keluarga Sakinah)


Tidak ada komentar: