Mekah pada zaman kuno terletak digaris lalu lintas perdagangan antara Yaman ( Arabia Selatan ) dan Syam dekat Lautan Tengah. Kedua negara ini zaman dahulu telah mencapai peradaban yang tinggi dan dihubungkan oleh beberapa negeri-negeri kecil antara lain Mekah. Dipandang dari segi geografi, hampir terletak ditengah-tengah Jazirah Arabia. Oleh karena itu kabilah-kabilah Arab dari segala penjuru tidaklah terlalu sulit mencapai Mekah, seperti halnya juga penduduk kota Mekah, tidaklah amat sukar bagi mereka bepergian ke negeri-negeri tetangganya seperti ke Syam, Hirah dan Yaman. Tidaklah mengherankan, bilamana semangat dagang berkembang dikalangan penduduk Mekah.
Dalam kota Mekah itu terdapat rumah suci yang disebut ‘Baitullah’ atau Ka’bah. Bangsa Arab pada umunya memuliakan tempat suci ini. Pembangunan Baitullah ini menurut sejarah Islam dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s bersama putranya Ismail a.s. Ismail a.s kemudian kawin dengan penduduk Mekah dari suku Jurhum yang berasal dari Yaman dan terus menetap di kota ini turun temurun. Keturunan Nabi Ismail ini disebut Banu Ismail atau Adnaniyyun.
Pada waktu bendungan besar di Ma’rib di Arabia Selatan pecah dan menimbulkan malapetaka yang besar pada penduduknya, maka kabilah-kabilah Arab Selatan ini berbondong-bondong meninggalkan daerahnya menuju kearah utara. Di antara mereka, satu rombongan yang dipimpin oleh Harits bin ‘Amir yang bergelar Khuza’ah berpindah menuju Mekah; mereka berhasil mengalahkan penduduk Mekah ( suku Jurhum) dan seterusnya menjadi penguasa atas negeri ini turun temurun.
Dalam masa pemerintahan Khuza’ah inilah Banu Ismail berkembang biak dan dengan berangsur-angsur mereka meninggalkan negeri ini bertebaran kepelosok-pelosok jazirah Arab. Hanya yang tinggal dikota ini dari Banu Ismail ialah suku Quraisy. Mereka sama sekali tak punya kekuasaan atas kota Mekah ini dan juga atas ka’bah.
Kira-kira abad 5 M, seorang pemimpin kabilah Quraisy yang bernama Qushai telah berhasil merebut kekuasaan kota Mekah dari tangan kaun Khuza’ah, setelah mereka berabad-abad lamanya menguasai kota Mekah. Kekuasaan yang direbutnya itu meliputi bidang pemerintahan dan keagamaan. Dengan demikian, Qushai menjadi pemimpin agama dan pemerintahan kota Mekah.
Dibidang pemerintahan, Qushai meletakkan dasar-dasar demokrasi. Dia membagi-bagi kekuasaan antara pemimpin Quraisy. Untuk tempat bermusyawarah para pemimpin itu, dibangunnya balai permusyawaratan yang mereka namakan “ Daarunnadwah”. Ditempat inilah mereka membahas dan memecahkan segala persoalan yang timbul dalam masyarakat. Ketua dari balai ini ialah Qushai sendiri. Kekuasaan dan kepemimpinan Qushai atas kota Mekah ini mendapat dukungan dari segenapkabilah-kabilah Arab.
Pada masa-masa selanjudnya, nampaklah pertumbuhan kota Mekah dengan organisasinya yang sederhana itu, lebih-lebih setelah kerajaan Himyariah di Arabia Selatan mulai runtuh kira-kira pada permulaan abad ke 6 M. Kesadaran bahwa kepentingan kota harus lebih diutamakan dari kepentingan suku sendiri, sudah pula tumbuh pada penduduk Mekah. Segala sengketa antara mereka selalu dapat diselesaikan secara damai. Mereka menghindari terjadinya pertumpahan darah di daerah kota Mekah, karena hal itu berarti menodai kesucian kota itu yang sudah menjadi kepercayaan sejak berabad-abad lamanya. Selain dari pada itu, merekapun sangat berkepentingan akan ketenteraman kota Mekah. Setiap tahun pada bulan-bulan haji, bangsa Arab dari segala penjuru, datang berkunjung ke Mekah sebagai suatu kewajiban agama. Tidak sedikit keuntungan penduduk Mekah dari hasil kunjungan keagamaan ini. Kunjungan itu berjalan lancar bilamana keadaan kota Mekah itu selalu aman dan tenteram serta kesuciannya selalu terpelihara. Kaum Quraisy lah yang diberi kepercayaan oleh bangsa Arab untuk menjaga kesucian dan keamanan kota Mekah ini.
Mengenai keagamaan, sejak Qushai berhasil menggulingkan kekuasaan orang-orang Khuza’ah, dialah yang memegang pimpinan agama. Bangsa Arab mengakui, bahwa hak pemeliharaan atas Ka’bah dalam kota Mekah itu pada keturunan Nabi Ismail a.s. Karena itu, tindakan Qushai mengambil alih kekuasaan atas Ka’bah dari orang-orang Khuza’ah segera dibenarkan dan diakui oleh bangsa-bangsa Arab, karena Qushai adalah keturunan Nabi Ismail as. Dengan demikian, hanya dialah yang berhak menjaga, membuka dan menutup pintu Ka’bah serta memimpin upacara keagamaan dirumah suci itu. Setelah Qushai meninggal, pimpinan dilanjudkan oleh keturunannya. ( Sumber : Al Qur’an dan Terjemahnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar